Air Hujan Jakarta Mengandung Mikroplastik, Menkes Minta Warga Pakai Masker dan Jangan Keluar Usai Hujan - Merdeka
Air Hujan Jakarta Mengandung Mikroplastik, Menkes Minta Warga Pakai Masker dan Jangan Keluar Usai Hujan
Ia juga ingin agar masyarakat mengurangi sumber polusi yang datang atau berasal dari mikroplastik.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengimbau masyarakat agar menggunakan masker saat bepergian. Hal ini terkait dengan temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mendeteksi kandungan mikroplastik dalam air hujan di Jakarta.
"Jadi memang plastik ini kalau masuk ke dalam kan akan stay lama. Imbauan saya buat masyarakat adalah bahwa ya kalau bisa yang paling aman melindunginya pakai masker kalau jalan di luar," kata Budi Gunadi kepada wartawan, Rabu (29/10).
Meski begitu, ia juga menyarankan kepada masyarakat untuk tidak langsung keluar rumah setelah turun hujan.
"Tapi kalau tidak, ya usahakan jangan jalan di luar sesudah hujan, karena ini turunnya kan dekat-dekat hujannya kan, partikelnya. Mungkin pencegahan lainnya ya paling bagus memang di hulunya," ujarnya.
Ia juga ingin agar masyarakat mengurangi sumber polusi yang datang atau berasal dari mikroplastik.
"Artinya memang kita mesti mengurangi sumber polusi dari mikroplastik ini dan ini memang peranan Pak Gub penting sekali. Pak Gubnya berperan banyak, polusinya berkurang, kita di Kementerian Kesehatan juga akan sangat berkurang bebannya," ucapnya.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung mengaku akan segera merealisasikan atau mewujudkan terkait dengan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
"Jadi kemarin kan peneliti BRIN bersama dengan Dinas Lingkungan Hidup sudah menyampaikan hal ini. Kita tentunya seperti yang disampaikan Pak Menteri Kesehatan, kami segera untuk hal yang berkaitan dengan plastik, terus terang untuk PLTSA dan sebagainya akan segera kita realisasikan," ujar Pramono.
Dia pun mengaku setuju dengan apa yang disampaikan oleh Budi Gunadi soal penggunaan masker.
"Tetapi saya setuju bahwa memang untuk pencegahan di awal, masyarakat harus prepare untuk menggunakan masker," ucapnya.
"Tetapi yang saya senang, tiga hari ini, karena ada Jakarta Running Festival itu Jakarta enggak tahu hijau semuanya bahkan bersih banget, bersih banget tiga hari ini. Jadi itu keadaan kita pada saat ini," pungkasnya.
Sebelumnya, sampah pakaian, khususnya yang berbahan dasar poliester, disebut sebagai salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia. Material ini berisiko tinggi memunculkan mikroplastik yang berbahaya bagi keberlangsungan alam dan kesehatan manusia. Fenomena ini telah memicu kekhawatiran serius di berbagai kalangan masyarakat.
Pendiri dan Direktur Kreatif Sejauh Mata Memandang, Chitra Subyakto, menjelaskan bahwa bahan poliester banyak digunakan karena sifatnya yang tidak mudah lecak dan awet. Namun, saat sampah pakaian ini terurai, mikroplastik akan dilepaskan dan mencemari lingkungan. Kondisi ini diperparah dengan penumpukan limbah di TPA, sungai, hingga laut.
Penelitian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dilakukan sejak tahun 2022 juga menemukan adanya mikroplastik dalam setiap sampel air hujan di Jakarta. Temuan ini mengindikasikan bahwa siklus plastik telah mencapai atmosfer. Mikroplastik ini dapat kembali ke bumi bersama air hujan, membawa dampak buruk bagi ekosistem dan manusia.
Ancaman Mikroplastik dari Sampah Pakaian
Chitra Subyakto membeberkan alasan utama mengapa sampah pakaian berisiko memunculkan mikroplastik yang berbahaya. Menurutnya, banyak pakaian saat ini menggunakan bahan poliester, seperti yang sering ditemukan pada pakaian olahraga atau piyama. Bahan ini dipilih karena sifatnya yang tidak mudah lecak dan awet untuk digunakan dalam jangka waktu lama.
Namun, ketika sampah pakaian berbahan poliester ini berserakan di berbagai titik seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sungai, hingga laut, serat mikroplastik akan terlepas. Mikroplastik yang keluar kemudian mencemari air dan biota laut yang hidup di dalamnya.
Situasi ini sangat mengkhawatirkan karena para ahli telah menyatakan bahwa mikroplastik berkaitan dengan penurunan imunitas tubuh hingga kanker.
"Sampah pakaian itu kan salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia dan salah satunya bahannya mengandung mikroplastik," kata Chitra menegaskan.
Senada, Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova menambahkan bahwa mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, serta sisa pembakaran sampah plastik.
"Yang beracun bukan air hujannya, tetapi partikel mikroplastik di dalamnya karena mengandung bahan kimia aditif atau menyerap polutan lain," katanya.
Upaya Pencegahan dan Peran Masyarakat dalam Mengatasi Mikroplastik
Melihat dampak serius dari mikroplastik, Chitra Subyakto mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap bahan pakaian atau kain yang digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Salah satu caranya adalah dengan membaca dan mencari informasi lebih lanjut terkait dengan jenis kain yang akan dipakai. Pemahaman akan material yang digunakan menjadi langkah awal yang penting.
Selain itu, masyarakat juga diminta agar tidak terburu-buru dalam membuang pakaian. Chitra menilai akan jauh lebih baik jika barang-barang tersebut dirawat dengan baik atau diolah menjadi produk yang menarik untuk dipakai kembali, misalnya dijadikan tas ataupun sarung bantal. Pendekatan ini dapat memperpanjang masa pakai produk fesyen dan mengurangi timbulan sampah pakaian.
Chitra mengingatkan bahwa masalah mikroplastik dapat memengaruhi kehidupan 8 miliar manusia di bumi. Oleh karena itu, setiap pihak diminta agar tidak abai dan mulai meningkatkan kepedulian pada lingkungan sekitar. Minimalisasi penggunaan produk plastik dan peningkatan kesadaran akan dampak sampah pakaian menjadi kunci untuk menekan polusi mikroplastik dan risiko paparannya.